TEORI EXCELLENCE DALAM PUBLIC RELATIONS (Studi kasus dalam penanganan krisis perusahaan PT Garuda Indonesia pasca peristiwa kecelakaan pesawaat Boeing 737-400 GA-200 di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta)
Oleh :
Mutiara Rahmadini S.L (155120207111017)
Amanda Putri Kirana (155120201111086)
Amanda Putri Kirana (155120201111086)
TEORI EXCELLENCE
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Deskripsi
Kasus
Garuda
Indonesia adalah maskapai penerbangan nasional Indonesia yang terbang ke lebih
dari 40 tujuan domestik dan 36 tujuan internasional. Garuda Indonesia merupakan
maskapai penerbangan pertama di Indonesia yang berhasil menguasai pangsa
penerbangan hingga go internasional. Terbang
pertama kalinya pada tahun 1949, saat ini Garuda Indonesia membawa 25 juta
penumpang setiap tahunnya. (Garuda Indonesia, 2014). Garuda Indonesia
kini memiliki 73 armada pesawat terbang yang membuat maskapai ini terbesar di
Asia Tenggara (Anom, 2014).
PT. Garuda Indonesia selalu memberikan pelayanan yang terbaik sehingga
tumbuhlah citra positif di mata khalayaknya. Selain itu, Garuda Indonesia juga
secara berkelanjutan menjalin hubungan baik antara pihak internal (hubungan
dengan karyawan). Sedangkan hubungan eksternal, dijalin melalui hubungan baik
dengan pihak luar dan stakeholedernya. Sehingga saat ini Garuda Indonesia
dipandang sebagai maskapai terbaik di Indonesia. Konsumen tetap akan memilih
maskapai Garuda meskipun tarifnya di atas dibanding maskapai lainnya demi
kenyamanan saat penerbangan.
Namun,
pada tanggal 7 Maret 2007 pukul 06.55 WIB, terjadi kecelakaan pesawat Garuda
Indonesia di Bandara Adi Sucipto Jogjakarta. Pesawat jenis Boeing 737-400
tersebut meledak setelah terperosok ke rawa-rawa saat mendarat. Pesawat GA-200
yang terbang pukul 06.00 WIB dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, membawa
133 penumpang, 1 pilot, 1 copilot dan 5 awak kabin. (Iskandar, 2015)
Komite
Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Selasa (22/10) mengumumkan hasil
investigasi kecelakaan pesawat pesawat Boeing 737 Garuda Indonesia
GA200 di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, pada 7 Maret 2007. Hasilnya, murni
akibat kelalaian pilot dan kopilot.
Kapal
terbang yang dikemudikan Kapten Marwoto Komar itu turun dalam kondisi miring
tajam. Kecepatan pesawat melampaui kecepatan operasi dengan wing flaps.Sehingga
sistem peringatan bahaya Ground Proximity Warning System (GPWS) berbunyi
berkali-kali. Sehingga pesawat GA-200 mendarat pada daerah touch down zone
atau kurang lebih 650 meter dari ujung landasan pacu (departure runway)
09. Setelah menyentuh landasan,
pesawat mengalami bouncing 2 kali.
Gesekan logam pada landasan menimbulkan percikan api pada sisa landasan pacu. Pesawat pun gagal berhenti di titik yang ditentukan, terus meluncur dengan kecepatan tinggi hingga menabrak pagar besi bandara. Roda menabrak tanggul, sementara sayap bagian kanan patah akibat menghantam tanah di lahan pertanian. Patahannya kemudian terlempar ke arah kiri pesawat, sehingga bertumpuk pada sayap kiri. Akibatnya, bahan bakar yang tertampung di bagian sayap tumpah dan menyebar ke area persawahan. GA-200 kemudian berhenti di area persawahan dalam kondisi terbakar. (Kristanti, 2007)
Gesekan logam pada landasan menimbulkan percikan api pada sisa landasan pacu. Pesawat pun gagal berhenti di titik yang ditentukan, terus meluncur dengan kecepatan tinggi hingga menabrak pagar besi bandara. Roda menabrak tanggul, sementara sayap bagian kanan patah akibat menghantam tanah di lahan pertanian. Patahannya kemudian terlempar ke arah kiri pesawat, sehingga bertumpuk pada sayap kiri. Akibatnya, bahan bakar yang tertampung di bagian sayap tumpah dan menyebar ke area persawahan. GA-200 kemudian berhenti di area persawahan dalam kondisi terbakar. (Kristanti, 2007)
Peristiwa kecelakaan pesawat GA-200 tersebut menimbulkan luka
yang mendalam bagi keluarga korban dan pertanyaan dari masyarakat. Garuda
Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai maskapai yang memiliki image baik di
mata masyarakat memiliki fasilitas penerbangan yang paling aman dan nomor satu
di Indonesia. Sehingga berita kecelakaan GA-200 merupakan berita yang
mengagetkan. Menurut barita dari surat kabar Investor Daily (dikutip di Anom
2014), Garuda Indonesia dicitrakan sebagai perusahaan penerbangan paling aman.
Meski tarif diatas rata-rata penerbangan swasta, Garuda tetap menjadi prioritas
penumpang berduit karena citra “best safety”. Namun, ketika peristiwa
kecelakaan GA-200 menjadikan citra “best safety” dari Garuda Indonesia menjadi
pupus dimata masyarakat. Sehingga masyarakat beranggapan bahwa saat ini tidak
ada lagi maskapai penerbangan nasional yang menyandang citra “Aman”, pemaparan
surat kabar Daily Investor 8/03/2007 dikutip dari Anom, 2014.
Pasca terjadinya kecelakaan GA-200, Garuda Indonesia melalui
bagian humas melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan citra perusahaan.
Untuk menghindari ketidakpastian yang muncul dan spekulasi, pihak humas Garuda
Indonesia melakukan klarifikasi atas peristiwa tersebut. Tahap awal yang dilakukan
perusahaan yaitu mencari sumber data yang akurat dan terbaru sehingga humas
pada setiap harinya mengeluarkan pernyataan pers kepada publik. Dalam
penanganan krisis manajemen yang dialami PT. Garuda Indonesia ini, perusahaan
memiliki Emergency Respon Plane (ERP) yang bertugas merespon krisis perusahaan.
Adapun pusat-pusat yang terlibat dalam menangani krisis di PT Garuda Indonesia,
antara lain : Operation Control Center, Emergency Control Center, Passenger
Inquiry Center, Family Assistance Center, Passenger Inquiry center, Emergency
Support Management Team, Air Craft Recovery Team, dan Branch Offices. Disetiap
pos terdapat satu liaison officer. Petugas ini berada dibawah Media Information
Center (MIC) yang tugasnya menghimpun informasi seputar perkembangan penanganan
yang ada di pos-pos tempatnya memantau. Informasi- informasi yang diterima dari
liaison officer itu kemudian menjadi bahan komunikasi internal, pernyataan
perusahaan (yang dilakukan oleh CEO atau Juru Bicara), konferensi dan berita
pers.
1.2 Permasalahan
Melihat
dari peristiwa kecelakaan GA-200, Humas PT Garuda Indonesia berhasil menangani
krisis yang menimpa perusahaan. Ini dibuktikan dengan kerja maksimal PR
perusahaan yang tetap membangun hubungan dengan publik dengan mengeluarkan
pernyataan pers setiap harinya, pada saat krisis perusahaan membentuk tim
khusus untuk menanggulangi krisis dan yang terpenting adalah kembalinya citra
positif masyarakat akan perusahaan. Namun,saat penanganan krisis tersebut
apakah kemudian PR perusahaan melakukan
aktivitas yang sesuai dengan teori excellence (teori keunggulan).
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Model
Public Relations
Model
Public relation diperkenalkan oleh James Grunig dan Hunt. Grunig & Hunt
merumuskan 4 model public relation yang digunakan praktisi public relations
dalam menjalin hubungan dengan publik. Empat model tersebut adalah Press
Agentry, Public Information, Two Way Asymmetric dan Two Way Symmetric. Grunig
& Hunt mengidentifikasi keempat model tersebut berdasarkan empat dimensi
utama yaitu arah komunikasi, keseimbangan kepentingan antara kedua pihak
(tujuan), saluran dan dimensi etis (Kriyantono, 2014).
Dimensi arah komunikasi memaparkan hubungan antara organisasi dengan
publik. Dimensi keseimbangan kepentingan menjelaskan keseimbangan antara
organisasi dengan publik dan Dimensi saluran membahas saluran-saluran
komunikasi, saluran bermedia.
2.1.1
Model Press Agentry
Pada model Press Agentry, proses
diseminasi informasi bergerak satu arah (one way communication) dari organisasi
kepada publiknya (Kriyantono, 2014). Pada model ini PR lebih banyak
melakukan propaganda yang bertujuan untuk meraih publisitas media yang menguntungkan
pihaknya. Press Agentry merupakan kegiatan publisitas yang berupaya untuk
meraih perhatian dan liputan media. Namun pada prakteknya, model Press Agentry
seringkali disalahgunakan. Model ini diterapkan dengan berbagai cara dan
mengabaikan kebenaran informasi yang bertujuan untuk menutupi unsu-unsur
negatif sebuah organisasi. Press agentry cenderung membuat upaya mendapat
publisitas media yang bersifat manipulasi atau berita palsu.
2.1.2
Model Public Information
Model ini bersifat sama dengan model
sebelumnya, hanya saja komunikasi satu arah dalam model ini bersifat sebagai
“telling” bukan “listening”. Perbedaannya, pada model ini, penyebaran informasi
bukan bertujuan untuk promosi atau publisitas. Tetapi bertujuan untuk
memberikan informasi yang dibutuhkan publik. Hanya saja informasi yang
disebarkan harus melalui proses seleksi yang sifatnya menguntungkan organisasi.
Public relation bekerja sebagai penyedia informasi yang akurat dan relevan
untuk kebutuhan publik. Model ini bertujuan untuk membangun kepercayaan publik
dengan komunikasi satu arah yang memberikan informasi kepada publik, tetapi
tidak mementingkan persuasif untuk mengubah sikap, sesuai yang dipaparkan
Grunig & Hunt ( dikutip di Kriyantono, 2014)
2.1.3
Model Two Way Asymmetric
Pada model ini, sudah diterapkan
model komunikasi dua arah. Hanya saja model asymmetric lebih mengarahkan
strategi komunikasi organisasi agar memengaruhi publik beradaptasi dengan
organisasi, bukan sebaliknya. Bersifat asymmetric, sehingga organisasi tidak
berusaha untuk mengubah dirinya, tetapi berupaya mengubah sikap dan perilaku
publiknya
2.1.4
Model Two Ways Symmetric
Model ini menganggap bahwa
organisasi maupun publik memiliki besar kemungkinan untuk mengubah perilaku
komunikasinya sebagai akibat program komunikasi. Model symmetric ini yang
paling ideal dibanding model yang sebelumnya. Karena pada model ini fokus
utamanya adalah dialog ssecara penuh dengan publiknya. Sehingga hal tersebut
akan membentuk suatu pemahaman bersama. Publik tidak dianggap sebagai penerima
yang pasif, tetapi juga publik dapat berubah peran sebagai sumber
2.2 Teori Excellence dalam Public
Relation
Menurut
Grunig & Hunt (dalam Kriyantono, 2014), teori excellence merupakan
pengembangan dari empat model public relations
( Press Agentry: , Public Information, two-Way Asymetric, dan Two-Way
Symetric) yang diterapkan praktisi puclic relations dalam menjalin hubungan
dengan publik dan pengembangan dari teori situational of the public.
Grunig,
dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa public relations dapat berjalan secara
efektif dan excellence jika menerapkan model two-way symetric. Hasil penelitian
tersebut menawarkan teori baru yang disebut dengan excellent theory dalam
public relations.
Teori
excellence menganggap bahwa public relations bukan hanya berperan sebagai alat
persuasif atau sebagai komunikator untuk menyebarluaskan informasi saja, namun
dianggap sebagai profesional yang melaksanakan peran sebagai manajer yang
menggunakan penelitian dan dialog untuk membangun hubungan yang sehat dengan
publiknya (Kriyantono, 2014).
Peran
public relations sebagai manajer menurut Lattimore, dkk. (dalam Kriyantono,
2014) mencangkup 3 hal, yakni expert prescriber, communication facilitator, dan
problem-solving faacilitator. Peran public relations sebagai expert prescriber
ialah sebagai konsultan untuk menjabarkan masalah yang dihadapi, memberikan
pilihan sebagai solusi, dan mengawasi proses penyelesaiab masalah tersebut.
Peran public relations sebagai communication facilitator ialah sebagai penjaga
gerbang untuk menghubungkan organisasi dan llingkungannya melalui komunikasi
dua arah. Peran public relations sebagai problem-solving ialah sebagai partner
manajemen senior untuk mengidentifikasi dan menanggulani masalah.
Pada
Kriyantono (2014), menjelaskan bahwa teori excellence memiliki 10 premis yang
berguna untuk menghasilkan public relations yang excellence, yakni :
1. Dalam
fungsi strategis manajemen, suatu organisasi harus melibatkan aktivitas public
relations. Public relations harus turut ikut dalam pengambilan keputusan agar
mengasilkan kebijakan yang mencerminkan kualitas hubungan dengan publik.
2. Public
relations harus mendapatkan akses langsung kedalam kelompok dominan dan dapat
langsung berkomunikasi dengan manajer senior.
3. Organisasi
harus memiliki fungsi public relations yang terintegrasi kedalam
satu departemen sendiri
4. Public
Relation yaitu fungsi manajemen yang terpisah dengan manajemen yang lain
5. Manajer
publik relations haruslah seorang yang bercirikan manajer komunikasi, bukan
teknisi komunikasi
6. Mengadopsi
model two way asymmetric sebagai basis utama menjalin relasi publik
7. Komunikasi
internal bersifat two way symmetric, berupa desentralisasi struktur yang
menjamin otonomi antarbagian, dialog dua arah, dan memberi peluang anggota
organisasi terlibat dalam mekanisme pengambilan keputusan.
8. Fungsi
public relations model symmetric, peran manajerial, pelatihan akademik public
relation dan profesionalitas dilaksanakan dengan berdasarkan ilmu pengetahuan
yang memadai tentang bagaimana menjalankan peran manajerial dalam system
symmetric
9. Adanya
diversitas peran dalam menjalankan fungsi public relation
10. Dalam
menjalankan fungsinya, praktisi publik relation harus mengutamakan kode etik
dan integritas profesi.
2.3 Model Manajemen Strategis Public Relations
Melalui
10 premis teori excellence terdapat dasar mengenai situasi prasyarat yang
diperlukan jika public relations berkontribusi membuat aktivitas organisasi
berjalan efektif. Menurut Grunig & Repper dalam (Kriyantono, 2014), teori excellence menawarkan suatu model manajemen program yang
mampu membuat public relations menjadi excellence, yaitu model manajemen
strategis public relations. Model ini didasarkan pada perpaduan misi organisasi
dan kondisi lingkungan. Model manajemen strategis public relation menurut
Grunig & Repper yang dikutip dari (Kriyantono, 2014) :
1. Stakeholder
stage.
Organisasi mempunyai
relasi dengan stakeholder jika aktivitas organisasi dan stakeholder saling
memengaruhi. Public relation mesti melakukan riset formatif di awal program
untuk men-scan lingkungan dan aktivitas organisasi untuk mengidentifikasi
pengaruh yang terjadi
2. Public
Stage
Publik terbentuk jika
stakeholder menyadari beberapa pengaruh interaksinya dengan organisasi
memunculkan masalah dan berusaha melakukan aktivitas tertentu untuk
meresponnya. PR harus meneliti untuk mengidentifikasi dan membuat segmentasi
publik.
3. Issue
Stage
Public relations
diharap mengantisipasi isu-isu terkait organisasi dan mengidentifikasi respons
publik terhadap isu-isu tersebut. Ini dikenal sebagai manajemen isu.
2.4 Manajemen Krisis
2.4.1 Definisi Manajemen Krisis
Ahli
mendifinisikan manajemen krisis sesuai dengan bahasan masing-masing. Menurut
Rosady Ruslan, manajemen krisis merupakan suatu manajemen pengoelolaan,
penanggulangan atau pengendalian krisis hingga pemulihan citra perusahaan
(corporate image recovery) (Imbanagara, 2008). Sedangkan definisi
krisis sendiri menurut Michael Regester & July Larkin adalah :
“ An event which cause the company
to became the subject of widespread, potentially un favourable, attention from
the internasional and national media and other groups such as customers,
stakeholders, employees and their families, politicians, trade unionists and
environmental pressure group who, for one reason or another, have a vested
interest in the activities of the organization” (Imbanagara, 2008)
Krisis
akan berkonotasi negatif, namun sebenarnya apabila organisasi mampu
memanfaatkan akan banyak peluang bagi organisasi tersebut. Bila organisasi
mampu menarik pelajaran dari krisis yang dialaminya, niscaya organisasi
tersebut akan mampu menjadi lebih baik (Yosal, 2004).
BAB III
ANALISIS KASUS
3.1 Strategi Public Relations Garuda Indonesia
Pada
hakikatnya PR dan public affairs adalah kegiatan mengantisipasi, berusaha
melihat kejadian apa yang akan terjadi di masa mendatang (Anom, 2014).
Definisi krisis menurut Linke (1999: 84) (dikutip di Anom, 2014) adalah : Merupakan
suatu ketidak normalan dari konsekuensi negative yang mengganggu operasi
sehari-hari sebuah organisasi yang mungkin berakibat adanya kematian,
menurunnya kualitas kehidupan, berkurangnya tingkat kesejahteraan dan
menurunnya reputasi perusahaan.
PT
Garuda Indonesia dibawah naungan Departemen Perhubungan melalui public
relationnya berperan sebagai konseptor dalam pembuatan aktivitas dalam
mengatasi krisis pada saat peristiwa kecelakaan pesawat GA-200. Ini dilakukan agar krisis yang dialami tidak
berkepanjangan dan dapat terselesaikan sesuai dengan target yang telah
ditentukan. Public relation dalam strategi penanganan krisis adalah bagaimana
PR mempersiapkan langkah-langkah untuk penyelesaian krisis. Langkah pertama PR
Garuda Indonesia yaitu mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai
kecelakaan pesawat GA-200. Mengkoordinir semua pihak terkait dalam penanganan
kecelakaan untuk bersama-sama memberikan klarifikasi kepada pers agar tidak
terjadi ketidakpastian informasi. PR mendudukkan semua pihak, baik CEO,
Departemen Perhubungan dan para staf yang berkepintingan sehingga masing-masing
pihak dapat mendengar penjelasan masing-masing sesuai dengan fungsi dan tugas
pokoknya. Aktivitas PR Garuda tersebut sesuai dengan 10 premis teori excellence
yaitu “ Public relation harus mendapat akses langsung ke dalam kelompok dominan
dan dapat langsung berkomunikasi dengan manajer senior, seperti CEO
(Empowerment).”.
Setiap
informasi yang disampaikan PR, sebelumnya telah didiskusikan terlebih dahulu
dengan para staf public relation dan para pihak terkait. Setelah didiskusikan, PR dan pihak terkait
menganalisis dampak yang akan timbul apabila informasi tersebut disampaikan. PR
Garuda tidak menutupi atau menyimpan informasi tetapi memperkirakan dampak
sehingga disiapkan cara penyampaian. (Imbanagara, 2008). Hal ini pula sesuai dengan premis
teori excellence yaitu “ Organisasi melibatkan aktivitas public relations dalam
fungsi strategis manajemen. Setiap pengambilan keputusan harus mempertimbangkan
perspektif public relations agar menghasilkan kebijakan yang mencerminkan
kualitas hubungan dengan publik”
Saat
krisis terjadi, PT Garuda Indonesia melalui public relationnnya segera
membentuk Emergency Respon Plan (ERP) yang dapat merespon krisis tersebut. Berikut
merupakan struktur Emergency Respon Plane (ERP) ketika menghadapi krisis:
1.
Media Information Center (MIC)
2.
Operation Control Center (OCC)
3.
Emergency Control Center (ECC)
4.
Site Control Center (SCC)
5.
Family Assistance Center (FAC)
6.
Passengenger Inquiry Center (PIC)
7.
Emergency Support Management Team (EMST)
8.
Aircraft Recovery Team (ART)
9.
Go Team
10.
Garuda Indonesia Policy Group (GA Policy
Group)
11.
Banch Office Garuda Indonesia
Dari
11 susunan struktur ERP tersebut memiliki tugas mencari data mengenai peristiwa
kecelakaan GA-200. Mulai dari kronologi terjadinya kecelakaan sampai dengan
jumlah korban yang terselamatkan maupun tidak. Setelah mengumpulkan informasi,
barulah informasi tersebut dihimpun di Media Information Center (MIC). Tugas
dari MIC ini adalah menghimpun informasi seputar perkembangan penanganan yang
ada di pos-pos pantauan. Melalui MIC, PR Garuda bertugas sebagai pengelola
data, apakah data yang dihimpun akurat atau tidak. PR garuda juga menunjuk
Emirsyah Satar selaku Direktur Utama Garuda Indonesia untuk turun langsung
memberikan informasi yang telah dihimpun PR kepada media dan khalayak. Melalui
hal tersebut, PR Garuda Indonesia telah sesuai dengan apa yang telah
dicantumkan premis teori excellence yaitu memabangun komunikasi two-way
symmetric untuk menjalin relasi publik.
Setelah
informasi berhasil dihimpun oleh MIC, PT Garuda Indonesia menjelaskan
berdasarkan data yang telah diperoleh pada acara konferensi pers tanggal 7
Maret 2007 yang dikuti dalam (Anom, 2014)
:
1.
Pada hari pertama pasca accident banyak yang menduga accident tersebut
dikarenakan adanya dugaan sabotase.
2.
Pesawat GA-200 melayani rute Jakarta-yogyakarta, berangkat dari Jakarta tepat
waktu pukul 06.00 WIB. tiba di Yogyakarta rencana nya pukul 06.55 WIB.
3. Awak pesawat GA.200 sebanyak 7 orang
terdiri dari : Capt. M Marwoto Komar
(Pilot in Command), Gagam Saman Rohmana (First Officer), Wiranto Wooryono(
Purser), Irawati (Senior awak kabin), Mariati (senior awak kain), Imam arif
Iskandar (Senior awak kabin, dan Ratna Budiyanti (Junior Awak Kabin)
4.
Pesawat mengalami accident dalam kondisi terbakar. Pesawat saat itu berada di
ujung runway 09 sebelah Timur Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta.
5.
Hingga pada hari pertama kejadian, telah berhasil dievakuasi sebanyak 93
penumpang. Mereka yang berhasil dievakusi telah dibawa ke rumah sakit antara
lain RS Panti Rapih, RS Panti Rini. Proses evakuasi terus berlangsung, selain
petugas bagian operasi dan bagian teknik Garuda, pelaksanaan juga dibantu oleh
kesatuan TNI-AU, TNI-AD, dan Polri.
6.
Dalam kecelakaan itu, Garuda menanggung seluruh biaya pengobatan para
penumpang.
7.
Sementara itu bagi keluarga korban yang ingin menghubungi kantor Garuda
Indonesia, Jakarta dapat melalui nomor telepon : 021-23113993, 021-2310049 dan
021-389-00128, faximile : 021-2311105. posko Garuda di Bandara Soekarno Hatta : 021-5506721,
021-550-8747
8.
Untuk membantu keluarga korban menunju ke Yogyakarta, Garuda Indonesia pada
hari pertama menyiapkan dua pesawat, yang akan diberangkatkan pada pukul 15.00
WIB (GA-2022) dan pukul17.30 WIB (GA-2062). Untuk keperluan keberangkatan
tersebut, para keluarga korban dapat menghubungi nomor telepon posko Garuda di
Bandara Soekarno Hatta : 021-5506721.
9.
Setelah dilaksanakan proses evakuasi, diketahui sebanyak 112 penumpang dalam
kondisi selamat, sedangkan 21 penumpang lainnya meninggal dunia. Mereka yang
meninggal dunia tersebut dari 19 penumpang meninggal di lokasi kejadian, 1
penumpang di RS Angkatan Udara,
penumpang meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Mulai
dari identifikasi krisis, pernyataan pers dan membentuk ERP untuk menanggulangi
masalah krisis, membuktikan bahwa PR Garuda telah berperan aktif dalam
penanganan krisis Garuda akibat kecelakaan GA-200 di Banda Adi Sucipto
Yogyakarta. Hal ini sesuai dengan model manajemen strategis PR menurut Grunig
& Repper bahwa PR harus berkonstribusi terkait krisis ini melalui model
manajemen PR yang meliputi Stakeholders Stage : Artinya PR berupaya untuk
membangun relasi dengan stakeholder seperti departemen perhubungan untuk
mengatasi konfil. Kemudian Public Stage: PR mengkomunikasikan kebutuhan publik
berupa informasi-informasi terkait peristiwa kecelakaan sehingga meminimalkan
konfik yang terjadi dan yang terakhir Issue Stage : PR berusaha mengantisipasi
isu yang terjadi dengan membentuk ERP untuk menggali informasi yang akurat demi
menghindari kesimpangsiuran informasi.
Works Cited
Anom, K. H.
(2014). Peran PR Menerapkan Manajemen Krisis Dalam Memulihkan Citra PT.Garuda
Indonesia Pasca Kecelakaan Pesawat Boeing G.737/400 di Yogyakarta. Universitas
Esa Unggul , 1-31.
Garuda Indonesia. (2014). Garuda Indonesia The Airline of
Indonesia. -: PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Imbanagara, P. (2008). Manajemen Krisis Public Relations
Departemen Perhubungan Pasca Tragedi Kcelakaan Transpotasi (Garuda Boeing
737-400) di Yogyakarta (Periode 2007). Jakarta: Universitas Mercu Buana.
Iskandar, F. (2015). Garuda Indonesia Terbak, 23 Orang
Tewas. Jakarta: Metro TV News.
Kristanti, E. Y. (2007). Garuda Indonesia Celaka Saat
Mendarat di Jogja. Yogyakarta: Liputan 6.
Kriyantono, R. (2014). Teori Public Relations Perspektif
Barat & Lokal. Jakarta: Kencana.
Yosal, I. (2004). Manajemen Strategi PR. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Opmerkings
Plaas 'n opmerking