TEORI EXCELLENCE DALAM PUBLIC RELATIONS (Studi kasus dalam penanganan krisis perusahaan PT Garuda Indonesia pasca peristiwa kecelakaan pesawaat Boeing 737-400 GA-200 di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta)




Oleh :
Mutiara Rahmadini S.L (155120207111017)
Amanda Putri Kirana (155120201111086)




TEORI EXCELLENCE

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Deskripsi Kasus
Garuda Indonesia adalah maskapai penerbangan nasional Indonesia yang terbang ke lebih dari 40 tujuan domestik dan 36 tujuan internasional. Garuda Indonesia merupakan maskapai penerbangan pertama di Indonesia yang berhasil menguasai pangsa penerbangan hingga go internasional. Terbang pertama kalinya pada tahun 1949, saat ini Garuda Indonesia membawa 25 juta penumpang setiap tahunnya. (Garuda Indonesia, 2014). Garuda Indonesia kini memiliki 73 armada pesawat terbang yang membuat maskapai ini terbesar di Asia Tenggara (Anom, 2014). PT. Garuda Indonesia selalu memberikan pelayanan yang terbaik sehingga tumbuhlah citra positif di mata khalayaknya. Selain itu, Garuda Indonesia juga secara berkelanjutan menjalin hubungan baik antara pihak internal (hubungan dengan karyawan). Sedangkan hubungan eksternal, dijalin melalui hubungan baik dengan pihak luar dan stakeholedernya. Sehingga saat ini Garuda Indonesia dipandang sebagai maskapai terbaik di Indonesia. Konsumen tetap akan memilih maskapai Garuda meskipun tarifnya di atas dibanding maskapai lainnya demi kenyamanan saat penerbangan.
Namun, pada tanggal 7 Maret 2007 pukul 06.55 WIB, terjadi kecelakaan pesawat Garuda Indonesia di Bandara Adi Sucipto Jogjakarta. Pesawat jenis Boeing 737-400 tersebut meledak setelah terperosok ke rawa-rawa saat mendarat. Pesawat GA-200 yang terbang pukul 06.00 WIB dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, membawa 133 penumpang, 1 pilot, 1 copilot dan 5 awak kabin. (Iskandar, 2015)
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Selasa (22/10) mengumumkan hasil investigasi kecelakaan pesawat pesawat Boeing 737 Garuda Indonesia GA200 di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, pada 7 Maret 2007. Hasilnya, murni akibat kelalaian pilot dan kopilot.
Kapal terbang yang dikemudikan Kapten Marwoto Komar itu turun dalam kondisi miring tajam. Kecepatan pesawat melampaui kecepatan operasi dengan wing flaps.Sehingga sistem peringatan bahaya Ground Proximity Warning System (GPWS) berbunyi berkali-kali. Sehingga pesawat GA-200 mendarat pada daerah touch down zone atau kurang lebih 650 meter dari ujung landasan pacu (departure runway) 09.  Setelah menyentuh landasan,  pesawat mengalami bouncing 2 kali.
 Gesekan logam pada landasan menimbulkan percikan api pada sisa landasan pacu. Pesawat pun gagal berhenti di titik yang ditentukan, terus meluncur dengan kecepatan tinggi hingga menabrak pagar besi bandara. Roda menabrak tanggul, sementara sayap bagian kanan patah akibat menghantam tanah di lahan pertanian.   Patahannya kemudian terlempar ke arah kiri pesawat, sehingga bertumpuk pada sayap kiri. Akibatnya, bahan bakar yang tertampung di bagian sayap tumpah dan menyebar ke area persawahan.  GA-200 kemudian berhenti di area persawahan dalam kondisi terbakar. (Kristanti, 2007)
      Peristiwa kecelakaan pesawat GA-200 tersebut menimbulkan luka yang mendalam bagi keluarga korban dan pertanyaan dari masyarakat. Garuda Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai maskapai yang memiliki image baik di mata masyarakat memiliki fasilitas penerbangan yang paling aman dan nomor satu di Indonesia. Sehingga berita kecelakaan GA-200 merupakan berita yang mengagetkan. Menurut barita dari surat kabar Investor Daily (dikutip di Anom 2014), Garuda Indonesia dicitrakan sebagai perusahaan penerbangan paling aman. Meski tarif diatas rata-rata penerbangan swasta, Garuda tetap menjadi prioritas penumpang berduit karena citra “best safety”. Namun, ketika peristiwa kecelakaan GA-200 menjadikan citra “best safety” dari Garuda Indonesia menjadi pupus dimata masyarakat. Sehingga masyarakat beranggapan bahwa saat ini tidak ada lagi maskapai penerbangan nasional yang menyandang citra “Aman”, pemaparan surat kabar Daily Investor 8/03/2007 dikutip dari Anom, 2014.
      Pasca terjadinya kecelakaan GA-200, Garuda Indonesia melalui bagian humas melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan citra perusahaan. Untuk menghindari ketidakpastian yang muncul dan spekulasi, pihak humas Garuda Indonesia melakukan klarifikasi atas peristiwa tersebut. Tahap awal yang dilakukan perusahaan yaitu mencari sumber data yang akurat dan terbaru sehingga humas pada setiap harinya mengeluarkan pernyataan pers kepada publik. Dalam penanganan krisis manajemen yang dialami PT. Garuda Indonesia ini, perusahaan memiliki Emergency Respon Plane (ERP) yang bertugas merespon krisis perusahaan. Adapun pusat-pusat yang terlibat dalam menangani krisis di PT Garuda Indonesia, antara lain : Operation Control Center, Emergency Control Center, Passenger Inquiry Center, Family Assistance Center, Passenger Inquiry center, Emergency Support Management Team, Air Craft Recovery Team, dan Branch Offices. Disetiap pos terdapat satu liaison officer. Petugas ini berada dibawah Media Information Center (MIC) yang tugasnya menghimpun informasi seputar perkembangan penanganan yang ada di pos-pos tempatnya memantau. Informasi- informasi yang diterima dari liaison officer itu kemudian menjadi bahan komunikasi internal, pernyataan perusahaan (yang dilakukan oleh CEO atau Juru Bicara), konferensi dan berita pers.

1.2  Permasalahan
Melihat dari peristiwa kecelakaan GA-200, Humas PT Garuda Indonesia berhasil menangani krisis yang menimpa perusahaan. Ini dibuktikan dengan kerja maksimal PR perusahaan yang tetap membangun hubungan dengan publik dengan mengeluarkan pernyataan pers setiap harinya, pada saat krisis perusahaan membentuk tim khusus untuk menanggulangi krisis dan yang terpenting adalah kembalinya citra positif masyarakat akan perusahaan. Namun,saat penanganan krisis tersebut apakah kemudian  PR perusahaan melakukan aktivitas yang sesuai dengan teori excellence (teori keunggulan).





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Model Public Relations
            Model Public relation diperkenalkan oleh James Grunig dan Hunt. Grunig & Hunt merumuskan 4 model public relation yang digunakan praktisi public relations dalam menjalin hubungan dengan publik. Empat model tersebut adalah Press Agentry, Public Information, Two Way Asymmetric dan Two Way Symmetric. Grunig & Hunt mengidentifikasi keempat model tersebut berdasarkan empat dimensi utama yaitu arah komunikasi, keseimbangan kepentingan antara kedua pihak (tujuan), saluran dan dimensi etis (Kriyantono, 2014).  Dimensi arah komunikasi memaparkan hubungan antara organisasi dengan publik. Dimensi keseimbangan kepentingan menjelaskan keseimbangan antara organisasi dengan publik dan Dimensi saluran membahas saluran-saluran komunikasi, saluran bermedia.

            2.1.1 Model Press Agentry
       Pada model Press Agentry, proses diseminasi informasi bergerak satu arah (one way communication) dari organisasi kepada publiknya (Kriyantono, 2014). Pada model ini PR lebih banyak melakukan propaganda yang bertujuan untuk meraih publisitas media yang menguntungkan pihaknya. Press Agentry merupakan kegiatan publisitas yang berupaya untuk meraih perhatian dan liputan media. Namun pada prakteknya, model Press Agentry seringkali disalahgunakan. Model ini diterapkan dengan berbagai cara dan mengabaikan kebenaran informasi yang bertujuan untuk menutupi unsu-unsur negatif sebuah organisasi. Press agentry cenderung membuat upaya mendapat publisitas media yang bersifat manipulasi atau berita palsu.

2.1.2 Model Public Information
            Model ini bersifat sama dengan model sebelumnya, hanya saja komunikasi satu arah dalam model ini bersifat sebagai “telling” bukan “listening”. Perbedaannya, pada model ini, penyebaran informasi bukan bertujuan untuk promosi atau publisitas. Tetapi bertujuan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan publik. Hanya saja informasi yang disebarkan harus melalui proses seleksi yang sifatnya menguntungkan organisasi. Public relation bekerja sebagai penyedia informasi yang akurat dan relevan untuk kebutuhan publik. Model ini bertujuan untuk membangun kepercayaan publik dengan komunikasi satu arah yang memberikan informasi kepada publik, tetapi tidak mementingkan persuasif untuk mengubah sikap, sesuai yang dipaparkan Grunig & Hunt ( dikutip di Kriyantono, 2014)

2.1.3 Model Two Way Asymmetric
            Pada model ini, sudah diterapkan model komunikasi dua arah. Hanya saja model asymmetric lebih mengarahkan strategi komunikasi organisasi agar memengaruhi publik beradaptasi dengan organisasi, bukan sebaliknya. Bersifat asymmetric, sehingga organisasi tidak berusaha untuk mengubah dirinya, tetapi berupaya mengubah sikap dan perilaku publiknya

2.1.4 Model Two Ways Symmetric
            Model ini menganggap bahwa organisasi maupun publik memiliki besar kemungkinan untuk mengubah perilaku komunikasinya sebagai akibat program komunikasi. Model symmetric ini yang paling ideal dibanding model yang sebelumnya. Karena pada model ini fokus utamanya adalah dialog ssecara penuh dengan publiknya. Sehingga hal tersebut akan membentuk suatu pemahaman bersama. Publik tidak dianggap sebagai penerima yang pasif, tetapi juga publik dapat berubah peran sebagai sumber

2.2 Teori Excellence dalam Public Relation
Menurut Grunig & Hunt (dalam Kriyantono, 2014), teori excellence merupakan pengembangan dari empat model public relations  ( Press Agentry: , Public Information, two-Way Asymetric, dan Two-Way Symetric) yang diterapkan praktisi puclic relations dalam menjalin hubungan dengan publik dan pengembangan dari teori situational of the public.
Grunig, dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa public relations dapat berjalan secara efektif dan excellence jika menerapkan model two-way symetric. Hasil penelitian tersebut menawarkan teori baru yang disebut dengan excellent theory dalam public relations.
Teori excellence menganggap bahwa public relations bukan hanya berperan sebagai alat persuasif atau sebagai komunikator untuk menyebarluaskan informasi saja, namun dianggap sebagai profesional yang melaksanakan peran sebagai manajer yang menggunakan penelitian dan dialog untuk membangun hubungan yang sehat dengan publiknya (Kriyantono, 2014).
Peran public relations sebagai manajer menurut Lattimore, dkk. (dalam Kriyantono, 2014) mencangkup 3 hal, yakni expert prescriber, communication facilitator, dan problem-solving faacilitator. Peran public relations sebagai expert prescriber ialah sebagai konsultan untuk menjabarkan masalah yang dihadapi, memberikan pilihan sebagai solusi, dan mengawasi proses penyelesaiab masalah tersebut. Peran public relations sebagai communication facilitator ialah sebagai penjaga gerbang untuk menghubungkan organisasi dan llingkungannya melalui komunikasi dua arah. Peran public relations sebagai problem-solving ialah sebagai partner manajemen senior untuk mengidentifikasi dan menanggulani masalah.
Pada Kriyantono (2014), menjelaskan bahwa teori excellence memiliki 10 premis yang berguna untuk menghasilkan public relations yang excellence, yakni :
1.      Dalam fungsi strategis manajemen, suatu organisasi harus melibatkan aktivitas public relations. Public relations harus turut ikut dalam pengambilan keputusan agar mengasilkan kebijakan yang mencerminkan kualitas hubungan dengan publik.
2.      Public relations harus mendapatkan akses langsung kedalam kelompok dominan dan dapat langsung berkomunikasi dengan manajer senior.
3.      Organisasi harus memiliki fungsi public relations yang terintegrasi kedalam satu departemen sendiri
4.      Public Relation yaitu fungsi manajemen yang terpisah dengan manajemen yang lain
5.      Manajer publik relations haruslah seorang yang bercirikan manajer komunikasi, bukan teknisi komunikasi
6.      Mengadopsi model two way asymmetric sebagai basis utama menjalin relasi publik
7.      Komunikasi internal bersifat two way symmetric, berupa desentralisasi struktur yang menjamin otonomi antarbagian, dialog dua arah, dan memberi peluang anggota organisasi terlibat dalam mekanisme pengambilan keputusan.
8.      Fungsi public relations model symmetric, peran manajerial, pelatihan akademik public relation dan profesionalitas dilaksanakan dengan berdasarkan ilmu pengetahuan yang memadai tentang bagaimana menjalankan peran manajerial dalam system symmetric
9.      Adanya diversitas peran dalam menjalankan fungsi public relation
10.  Dalam menjalankan fungsinya, praktisi publik relation harus mengutamakan kode etik dan integritas profesi.

2.3 Model Manajemen Strategis Public Relations
            Melalui 10 premis teori excellence terdapat dasar mengenai situasi prasyarat yang diperlukan jika public relations berkontribusi membuat aktivitas organisasi berjalan efektif. Menurut Grunig & Repper dalam (Kriyantono, 2014), teori excellence  menawarkan suatu model manajemen program yang mampu membuat public relations menjadi excellence, yaitu model manajemen strategis public relations. Model ini didasarkan pada perpaduan misi organisasi dan kondisi lingkungan. Model manajemen strategis public relation menurut Grunig & Repper yang dikutip dari (Kriyantono, 2014) :
1.      Stakeholder stage.
Organisasi mempunyai relasi dengan stakeholder jika aktivitas organisasi dan stakeholder saling memengaruhi. Public relation mesti melakukan riset formatif di awal program untuk men-scan lingkungan dan aktivitas organisasi untuk mengidentifikasi pengaruh yang terjadi
2.      Public Stage
Publik terbentuk jika stakeholder menyadari beberapa pengaruh interaksinya dengan organisasi memunculkan masalah dan berusaha melakukan aktivitas tertentu untuk meresponnya. PR harus meneliti untuk mengidentifikasi dan membuat segmentasi publik.
3.      Issue Stage
Public relations diharap mengantisipasi isu-isu terkait organisasi dan mengidentifikasi respons publik terhadap isu-isu tersebut. Ini dikenal sebagai manajemen isu.

2.4 Manajemen Krisis
2.4.1 Definisi Manajemen Krisis
Ahli mendifinisikan manajemen krisis sesuai dengan bahasan masing-masing. Menurut Rosady Ruslan, manajemen krisis merupakan suatu manajemen pengoelolaan, penanggulangan atau pengendalian krisis hingga pemulihan citra perusahaan (corporate image recovery)  (Imbanagara, 2008). Sedangkan definisi krisis sendiri menurut Michael Regester & July Larkin adalah :
“ An event which cause the company to became the subject of widespread, potentially un favourable, attention from the internasional and national media and other groups such as customers, stakeholders, employees and their families, politicians, trade unionists and environmental pressure group who, for one reason or another, have a vested interest in the activities of the organization” (Imbanagara, 2008)
Krisis akan berkonotasi negatif, namun sebenarnya apabila organisasi mampu memanfaatkan akan banyak peluang bagi organisasi tersebut. Bila organisasi mampu menarik pelajaran dari krisis yang dialaminya, niscaya organisasi tersebut akan mampu menjadi lebih baik (Yosal, 2004).







BAB III
ANALISIS KASUS

3.1 Strategi Public Relations Garuda Indonesia
            Pada hakikatnya PR dan public affairs adalah kegiatan mengantisipasi, berusaha melihat kejadian apa yang akan terjadi di masa mendatang (Anom, 2014). Definisi krisis menurut Linke (1999: 84) (dikutip di Anom, 2014) adalah : Merupakan suatu ketidak normalan dari konsekuensi negative yang mengganggu operasi sehari-hari sebuah organisasi yang mungkin berakibat adanya kematian, menurunnya kualitas kehidupan, berkurangnya tingkat kesejahteraan dan menurunnya reputasi perusahaan.
            PT Garuda Indonesia dibawah naungan Departemen Perhubungan melalui public relationnya berperan sebagai konseptor dalam pembuatan aktivitas dalam mengatasi krisis pada saat peristiwa kecelakaan pesawat GA-200.  Ini dilakukan agar krisis yang dialami tidak berkepanjangan dan dapat terselesaikan sesuai dengan target yang telah ditentukan. Public relation dalam strategi penanganan krisis adalah bagaimana PR mempersiapkan langkah-langkah untuk penyelesaian krisis. Langkah pertama PR Garuda Indonesia yaitu mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai kecelakaan pesawat GA-200. Mengkoordinir semua pihak terkait dalam penanganan kecelakaan untuk bersama-sama memberikan klarifikasi kepada pers agar tidak terjadi ketidakpastian informasi. PR mendudukkan semua pihak, baik CEO, Departemen Perhubungan dan para staf yang berkepintingan sehingga masing-masing pihak dapat mendengar penjelasan masing-masing sesuai dengan fungsi dan tugas pokoknya. Aktivitas PR Garuda tersebut sesuai dengan 10 premis teori excellence yaitu “ Public relation harus mendapat akses langsung ke dalam kelompok dominan dan dapat langsung berkomunikasi dengan manajer senior, seperti CEO (Empowerment).”.
            Setiap informasi yang disampaikan PR, sebelumnya telah didiskusikan terlebih dahulu dengan para staf public relation dan para pihak terkait.  Setelah didiskusikan, PR dan pihak terkait menganalisis dampak yang akan timbul apabila informasi tersebut disampaikan. PR Garuda tidak menutupi atau menyimpan informasi tetapi memperkirakan dampak sehingga disiapkan cara penyampaian. (Imbanagara, 2008). Hal ini pula sesuai dengan premis teori excellence yaitu “ Organisasi melibatkan aktivitas public relations dalam fungsi strategis manajemen. Setiap pengambilan keputusan harus mempertimbangkan perspektif public relations agar menghasilkan kebijakan yang mencerminkan kualitas hubungan dengan publik”
            Saat krisis terjadi, PT Garuda Indonesia melalui public relationnnya segera membentuk Emergency Respon Plan (ERP) yang dapat merespon krisis tersebut. Berikut merupakan struktur Emergency Respon Plane (ERP) ketika menghadapi krisis:
1. Media Information Center (MIC)
2. Operation Control Center (OCC)
3. Emergency Control Center (ECC)
4. Site Control Center (SCC)
5. Family Assistance Center (FAC)
6. Passengenger Inquiry Center (PIC)
7. Emergency Support Management Team (EMST)
8. Aircraft Recovery Team (ART)
9. Go Team
10. Garuda Indonesia Policy Group (GA Policy
Group)
11.               Banch Office Garuda Indonesia
Dari 11 susunan struktur ERP tersebut memiliki tugas mencari data mengenai peristiwa kecelakaan GA-200. Mulai dari kronologi terjadinya kecelakaan sampai dengan jumlah korban yang terselamatkan maupun tidak. Setelah mengumpulkan informasi, barulah informasi tersebut dihimpun di Media Information Center (MIC). Tugas dari MIC ini adalah menghimpun informasi seputar perkembangan penanganan yang ada di pos-pos pantauan. Melalui MIC, PR Garuda bertugas sebagai pengelola data, apakah data yang dihimpun akurat atau tidak. PR garuda juga menunjuk Emirsyah Satar selaku Direktur Utama Garuda Indonesia untuk turun langsung memberikan informasi yang telah dihimpun PR kepada media dan khalayak. Melalui hal tersebut, PR Garuda Indonesia telah sesuai dengan apa yang telah dicantumkan premis teori excellence yaitu memabangun komunikasi two-way symmetric untuk menjalin relasi publik.
Setelah informasi berhasil dihimpun oleh MIC, PT Garuda Indonesia menjelaskan berdasarkan data yang telah diperoleh pada acara konferensi pers tanggal 7 Maret 2007 yang dikuti dalam (Anom, 2014) :
1. Pada hari pertama pasca accident banyak yang menduga accident tersebut dikarenakan adanya dugaan sabotase.
2. Pesawat GA-200 melayani rute Jakarta-yogyakarta, berangkat dari Jakarta tepat waktu pukul 06.00 WIB. tiba di Yogyakarta rencana nya pukul 06.55 WIB.
 3. Awak pesawat GA.200 sebanyak 7 orang terdiri dari : Capt. M  Marwoto Komar (Pilot in Command), Gagam Saman Rohmana (First Officer), Wiranto Wooryono( Purser), Irawati (Senior awak kabin), Mariati (senior awak kain), Imam arif Iskandar (Senior awak kabin, dan Ratna Budiyanti (Junior Awak Kabin)
4. Pesawat mengalami accident dalam kondisi terbakar. Pesawat saat itu berada di ujung runway 09 sebelah Timur Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta.
5. Hingga pada hari pertama kejadian, telah berhasil dievakuasi sebanyak 93 penumpang. Mereka yang berhasil dievakusi telah dibawa ke rumah sakit antara lain RS Panti Rapih, RS Panti Rini. Proses evakuasi terus berlangsung, selain petugas bagian operasi dan bagian teknik Garuda, pelaksanaan juga dibantu oleh kesatuan TNI-AU, TNI-AD, dan Polri.
6. Dalam kecelakaan itu, Garuda menanggung seluruh biaya pengobatan para penumpang.
7. Sementara itu bagi keluarga korban yang ingin menghubungi kantor Garuda Indonesia, Jakarta dapat melalui nomor telepon : 021-23113993, 021-2310049 dan 021-389-00128, faximile : 021-2311105. posko Garuda  di Bandara Soekarno Hatta : 021-5506721, 021-550-8747
8. Untuk membantu keluarga korban menunju ke Yogyakarta, Garuda Indonesia pada hari pertama menyiapkan dua pesawat, yang akan diberangkatkan pada pukul 15.00 WIB (GA-2022) dan pukul17.30 WIB (GA-2062). Untuk keperluan keberangkatan tersebut, para keluarga korban dapat menghubungi nomor telepon posko Garuda di Bandara Soekarno Hatta : 021-5506721.
9. Setelah dilaksanakan proses evakuasi, diketahui sebanyak 112 penumpang dalam kondisi selamat, sedangkan 21 penumpang lainnya meninggal dunia. Mereka yang meninggal dunia tersebut dari 19 penumpang meninggal di lokasi kejadian, 1 penumpang di RS Angkatan Udara,  penumpang meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Mulai dari identifikasi krisis, pernyataan pers dan membentuk ERP untuk menanggulangi masalah krisis, membuktikan bahwa PR Garuda telah berperan aktif dalam penanganan krisis Garuda akibat kecelakaan GA-200 di Banda Adi Sucipto Yogyakarta. Hal ini sesuai dengan model manajemen strategis PR menurut Grunig & Repper bahwa PR harus berkonstribusi terkait krisis ini melalui model manajemen PR yang meliputi Stakeholders Stage : Artinya PR berupaya untuk membangun relasi dengan stakeholder seperti departemen perhubungan untuk mengatasi konfil. Kemudian Public Stage: PR mengkomunikasikan kebutuhan publik berupa informasi-informasi terkait peristiwa kecelakaan sehingga meminimalkan konfik yang terjadi dan yang terakhir Issue Stage : PR berusaha mengantisipasi isu yang terjadi dengan membentuk ERP untuk menggali informasi yang akurat demi menghindari kesimpangsiuran informasi.













Works Cited

Anom, K. H. (2014). Peran PR Menerapkan Manajemen Krisis Dalam Memulihkan Citra PT.Garuda Indonesia Pasca Kecelakaan Pesawat Boeing G.737/400 di Yogyakarta. Universitas Esa Unggul , 1-31.
Garuda Indonesia. (2014). Garuda Indonesia The Airline of Indonesia. -: PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Imbanagara, P. (2008). Manajemen Krisis Public Relations Departemen Perhubungan Pasca Tragedi Kcelakaan Transpotasi (Garuda Boeing 737-400) di Yogyakarta (Periode 2007). Jakarta: Universitas Mercu Buana.
Iskandar, F. (2015). Garuda Indonesia Terbak, 23 Orang Tewas. Jakarta: Metro TV News.
Kristanti, E. Y. (2007). Garuda Indonesia Celaka Saat Mendarat di Jogja. Yogyakarta: Liputan 6.
Kriyantono, R. (2014). Teori Public Relations Perspektif Barat & Lokal. Jakarta: Kencana.
Yosal, I. (2004). Manajemen Strategi PR. Jakarta: Ghalia Indonesia.


Opmerkings

Gewilde plasings van hierdie blog

SEJARAH DAN PEMIKIRAN NEO MARXISME

Review Jurnal Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia (Rachmat Kriyantono & Bernard Mackenna)